Bima dalam bentuk wayang | Foto Istimewa
Indonesia memiliki beragam kesenian yang merupakan warisan leluhur, Mulai dari seni musik, seni tari dan seni rupa. Dengan status tersebut, menjadikan indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kemajemukan dan keragaman budaya. Dari sekian banyaknya kesenian di indonesia, saya ingin mengupas tentang wayang dan lakonnya.
Wayang sendiri merupakan seni pertunjukkan asli Indonesia yang berkembang pesat di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan ini juga populer di beberapa daerah seperti Sumatera dan Semenanjung Malaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang terpengaruh oleh kebudayaan Jawa dan Hindu.
UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity). (https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang)
Ya, pada tulisan ini saya ingin mengupas sebuah kisah dalam lakon wayang yang sangat terkenal yakni “perjumpaan bima dengan dewa ruci”. Lakon dalam pewayangan yang sangat memberikan pesan moral. Lakon ini seringkali dipentaskan oleh para dalang, namun tak sedikit juga yang “enggan” membawakan lakon ini. Biasanya juga lakon ini lazim diceritakan oleh orang tua pada anaknya dan guru-guru kepada muridnya.
Cerita ini mengisahkan tokoh pandawa yaitu bima (bimasena), seorang tokoh yang kuat dan disegani oleh musuh-musuhnya. Bima adalah putra kedua dari kunti dan pandu, Nama bhimā dalam bahasa Sanskerta memiliki arti “mengerikan”. Ia merupakan penjelmaan dari Dewa Bayu sehingga memiliki nama julukan bayusutha.
Singkat cerita, bima dan seluruh anggota pandawa termasuk juga korawa merupakan murid murid resi durna (drona). Durna kala itu memberika wasiat kepada bima untuk mencari air kehidupan (tirta perwita) untuk mencapai kesempurnaan hidup. Sebetulnya wasiat itu hanyalah topeng agar bima tidak ikut serta pada perang baratayuda. Namun karena bima memiliki jiwa murid yang berbakti, tanpa banyak bertanya ia pun melaksanakan titah sang guru tersebut.
Sebelum berangkat mencari air kehidupan, bima menemui sang ibu (kunti) untuk meminta izin. Kunti yang mendengar wasiat druna kepada bima, melarang anaknya tersebut untuk mencari air kehidupan.
Baginya, wasiat itu merupakan akal-akalan durna untuk menjerumuskan bima, pun dengan pandawa lainnya menyarankan agar bima tidak melaksanakan perintah durna. Sebagai seorang murid patuh, ia tetap dengan pendirianya dan dirinya berkeyakinan jika memang durna menjerumuskan dirinya biarkan durna yang menanggung karmanya. bima tetap melanjutkan perjalanan mencari air kehidupan, dengan santun ia pamit pada ibunya.
Sesuai petunjuk dari druna, bima melakukan perjalanan ke hutan Tikbrasara di lereng Gunung Reksamuka. Bukannya menemukan air kehidupan, bima justru bertemu dua raksasa yaitu rukmuka dan rukmukala. Terjadilah pertempuran antara bima dengan dua raksasa itu yang dimenangi oleh bima. Merasa tak ada air kehidupan di hutan tikbrasara, bima pulang dan menemui guru druna.
Tentu saja durna kaget dengan kembalinya bima secara hidup-hidup sebab tak ada satupun yang bisa selamat setelah masuk ke hutan tikbrasara. Durna kemudian memerintahkan kepada bima untuk menyelam ke samudera. Mendengar bima akan menyebur ke samudera, kunti dan para pandawa kembali menghalangi niat bima. Namun dengan keyakinan yang mantap, bima tetap melanjutkan mencari air kehidupan.
Saat sampai tepi samudera bima berusaha menekan segala hawa nafsu, ketakutan dan keraguan dan meyakinkan dirinya sendiri apakah ia sanggup untuk menyelami samudera. Saat menyelam ke dasar samudera, dirinya bertemu dengan naga (beberapa cerita menyebut ular), terjadilah pertarungan sengit.
Bima hampir mati saat dirinya dililit seluruh badannya. Namun dengan kekuatannya bima bisa mengalahkan naga itu dengan menacapkan kuku pancanaka pada badan naga. Sesaat setelah mengalahkan sang naga, bima bertemu dewa ruci yang wujudnya kecil hanya setelapak tangannya, rupanya persis seperti bima.
Bima diperintahkan oleh dewa ruci untuk masuk kedalam telinga kirinya. Perintah yang mustahil tapi bima bisa memasukinya. Setelah masuk, bima mendapati dunia yang sangat luas. Terjadilah dialog-dialog antara bima dan dewa ruci, kemudian dewa ruci mengatakan bahwa air kehidupan tak akan pernah didapati karena memang tak pernah ada namanya air kehidupan. Dewa ruci mengatakan bahwa air kehidupan hanya ada dalam diri manusia itu sendiri.
Bima menyadari bahwa dewa ruci adalah representasi dirinya. Ia menyadari bahwa jalan menuju sang Tuhan ada dalam dirinya dengan cara melawan hawa nafsu dan istiqomah. Dirinya bertemu kemuliaan yang tak pernah didapati oleh tokoh lain sebagai murid yang sangat patuh terhadap gurunya.
Itulah sepenggal kisah pertemuan bima dan dewa ruci. Cerita ini tentu saja mengajarkan pesan moral yang sangat banyak. Dalam budaya jawa sendiri, kisah ini sudah sangat umum dan selalu diceritakan oleh masyarakat jawa untuk pesan hidup.
Saya masih ingat Alm. Gusdur mengatakan dalam sebuah talkshow, beliau mengatakan bahwa dirinya menjadi presiden karena disuruh oleh 5 kyai sepuh tanpa banyak mikir dan tanpa duit buat jadi presiden. dan bukan hal umum pula di menjadi sebuah tradisi dikalangan pesantren tradisional para santri ini mempunya sifat seperti bima, yaitu nurut pada kyai-kyainya.
Mereka tak pernah membantah apa yang diucapkan oleh kyainya, selalu melaksanan apa yang diperintahkan kyai, berbanding terbalik jika kita melihat kebanyakan murid-murid zaman sekarang di sekolah-sekolah yang sering membantah dan merasa lebih pandai dari gurunya.
Satu hal juga yang harus ditanamkan, terkadang kita merasa lebih pandai daripada guru-guru sepuh yang sudah puluhan tahun menimba ilmu. Padahal tentu saja “maqom” dan tingkat pemahaman kita-kita yang masih muda belum bisa memaknai apa yang diucapkan oleh guru. Seperti halnya kisah nabi musa yang berguru pada nabi khidir, dimana “sang murid” banyak bertanya dan membantah pada “sang guru” namun pada akhirnya nabi musa mengerti dan bisa mengambil hikmah dari nabi khidir.
Terakhir, tentu saja kisah bima ini harus sering ditanamkan pada “murid-murid” agar jangan banyak membantah dan ngeyel jika meguru. Dan sebagai penutup, semoga kita tetap bisa melestarikan wayang yang merupakan warisan budaya. Jika bukan kita bangsa indonesia yang menjaga dan merawat wayang, siapa lagi ?.