Bogor, masih layakkah disebut kota indah, sejuk dan nyaman ?

Photo by Asep Irman on Unsplash

Tepat tanggal 3 juni 2017, Bogor berulang tahun yang ke 535. Usia yang sangat tua untuk hari lahir sebuah kota/kabupaten. Lebih dari setengah milenium silam Bogor adalah sebuah wilayah Kerajaan hindu Tarumanegara dan Pajajaran. Menurut sejarah hari lahir Bogor diambil berdasarkan penobatan Prabu Siliwangi sebagai raja Pajajaran.

Pada era kolonial Belanda, Bogor dikenal dengan julukan Buitenzorg yang berarti secara harfiah “aman tentram”. Bukan tanpa sebab, karena Bogor dijadikan tempat peristirahatan orang-orang Belanda, keindahan alam yang dimiliki Bogor menarik perhati Belanda untuk dijadikan tempat peristirahatan meraka.

Tahun 1745, Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff membangun Istana Bogor seiring dengan pembangunan Jalan Raya Daendels yang menghubungkan Batavia dengan Bogor.

Bogor direncanakan sebagai sebagai daerah pertanian dan tempat peristirahatan bagi Gubernur Jenderal. Dengan pembangunan-pembangunan ini, wilayah Bogor pun mulai berkembang. Banyak bangunan dan dari peninggalan Belanda yang kemudian dijadikan destinasi wisata ataupun tempat penelitian.

Bogor secara administratif dibagi menjadi dua wilayah yaitu Kota dan Kabupaten. Kota bogor memiliki 6 kecamatan yaitu : Bogor tengah, Bogor barat, Bogor Utara, Bogor selatan, Bogor timur dan Tanah sareal dan memiliki 68 Kelurahan yang tersebar ditiap-tiap kecamatan. Sedangkan untuk wilayah kabupaten Bogor memiliki 40 kecamatan, 417 desa dan 17 kelurahan. Dengan wilayah yang cukup luas dan alam yang mendukung, Bogor menjadi salah satu penghasil pertanian maupun sebagai sektor industri.

Bogor sebagai salah satu kota di Jawa Barat memang menjadi magnet bagi siapapun untuk mengunjungi kota ini, baik wisatawan asing maupun lokal. Ini tentu saja tak lepas dari wisata yang ditawarkan dengan berbagai wahana alam hingga wahana buatan tersaji di kota ini. Pesonanya memang tak akan pernah padam untuk memikat wisatawan jika dibandingkan kota tetangga seperti Tangerang, Bekasi atau Jakarta.

Baca juga  Paman Doblang: Kritik Melawan Ketidakadilan Dalam Sebuah Mahakarya

Lihatlah bagaimana bila akhir pekan tiba atau hari libur, kemacetan pun terjadi dimana-mana. Tumpah ruah lautan manusia menjadi penghias riuhnya Bogor dikala hari libur.

Bukan hanya masyarakat Bogor saja yang beranjak dari rumah, akan tetapi berbagai orang dari kota-kota Jadetabek bahkan dari luar kota datang hanya untuk sejenak menikmati kota penghasil talas ini. Jika kita melihat berita saat libur tiba, rasa-rasanya Bogor menjadi santapan wartawan untuk dijadikan berita terutama mengenai destinasi wisata bahkan wajib hukumnya meliput arus lalu lintas di wilayah cisarua hingga puncak. Bukan hal yang aneh memang jika melihat kemacetan begitu panjang hingga berkilo-kilo meter hanya untuk menikmati wilayah puncak.

Sayangnya, tempat wisata di Bogor justru dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Bagaimana tidak parkir liar yang tarifnya tidak masuk akal hingga loket tidak resmi semakin membuat citra tempat wisata menjadi buruk. belum lagi, banyaknya tangan-tangan jahil wisatawan yang tidak bisa menjaga keasrian tempat wisata dengan membuang sampah sembarangan dan corat-coret objek wisata.

Pada persoalan lainnya, pertumbuhan penduduk baik dari internal maupun migrasi serta pembangunan yang berkembang pesat di Bogor, rupanya memang banyak meninggalkan problematika. Lihatlah bagaimana congkaknya Mall-Mall berdiri megah diantara perkampungan padat. Pabrik-pabrik industri yang merubah kabupaten Bogor menjadi wilayah industrial menjadikan Bogor tidak lagi sejuk. Belum lagi pertumbuhan pemukiman yang semakin padat , banyak pesawahan yang berubah menjadi perumahan.

Dibandingkan Jakarta, memang satu-satunya yang membedakan permasalahan yaitu masalah banjir. Meskipun Bogor memiliki curah hujan yang sangat tinggi, namun bogor hampir tidak bermasalah dengan banjir. Beruntung memang, Bogor berada di wilayah dataran tinggi.

Bukan berarti tidak siaga, Bogor akhir-akhir banyak wilayah yang tergenang jika terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi. Kurangnya manajemen saluran air dan semakin berkurangnya daerah resapan, bukan hal yang tidak mungkin dimasa mendatang Bogor akan mengalami hal yang serupa. Tengoklah daerah puncak, banyak daerah resapan air dijadikan bangunan Villa. Banyak hutan lindung beralih fungsi menjadi tempat hiburan dan villa-villa.

Baca juga  Bukan negara hukum tapi negara etika
Photo by Iwona Castiello d’Antonio on Unsplash

Buruknya sistem transportasi dan kurang disiplinnya pengendara menjadi penyebab utama kemacetan di Bogor

Pada sisi lain, masalah kemacetan merupakan masalah yang sangat pelik. Tidak hanya diakhir pekan/liburan, hari-hari biasa Bogor menjadi macet. Kemacetan ini memang disebabkan banyak hal, antara lain buruknya sistem transportasi dan kurangnya disiplin dari pengendara.

Tak ayal menurut survei Waze, Bogor menempati peringkat kedua sebagai tempat terburuk dalam masalah berkendara. Sebagai wilayah metropolitan dengan sistem transportasi berupa angkot adalah merupakan hal yang konyol. Kota metropolitan seharusnya menggunakan sistem transportasi yang terintegrasi dan angkutan cepat seperti MRT atau monorail. Angkot seharusnya bukan sebagai transportasi utama kota melainkan hanya untuk angkutan pedesaan/wilayah pinggiran.

Sebetulnya Bogor sudah menyediakan trans pakuan. Namun, entah mengapa angkutan satu ini tidak dilirik oleh masyarakat. Bukan karena masyarakat tidak mau menggunakannya, melainkan tidak terawatnya transportasi ini. Halte-halte yang kotor, minimnya jumlah moda tranportasi ini menjadi penyebab minimnya minat masyarakat menggunakan transportasi ini.

Pada sisi lain, karena kurangnya transportasi umum yang memadai menjadikan masyarakat memilih untuk mengendarai kendaraan pribadi. Pertumbuhan kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat bak seperti orang menjual kacang goreng. Tak seimbangnya antara pertumbuhan kendaraan dengan jalan semakin membuat Bogor menjadi pabalieut belum lagi ketidakdisiplinan pengendara menambah kemacetan serta kaki lima yang semakin menambah pelik kemacetan.

Belum adanya transportasi umum yang baik, menjadikan transportasi online  memang menjadi angin segar bagi masyarakat. Namun, transportasi online semacam ini bukanlah solusi jitu dalam menanggulangi kemacetan. Dibutuhkan angkutan cepat yang mampu menampung jumlah yang banyak jika ingin mengurai kemacetan di Bogor.

Baca juga  Wanita dan pendidikan dalam kacamata sebagian laki-laki

Belum lagi persoalan tata kelola pasar, bukannya revitalisasi pasar tradisional justru pertumbuhan mall dan supermarket/minimarket terjadi kelonjakan yang signifikan. potret pasar yang becek dan bau belum lagi para pedagang yang acap kali mengambil hak-hak pejalan kaki. K

eberadaan pasar dan kaki lima ini justru menjadi penyumbang kemacetan parah di Bogor. Perlu suatu tindakan untuk membangun kembali pasar-pasar tradisional agar menjadi rapi dan terkelola dengan baik

Diusia yang lebih dari setengah milenium, harusnya Bogor menjadi salah satu wilayah yang sangat maju. Tapi faktanya persoalan-persoalan seperti kemacetan hingga kesenjangan sosial masih menjadi PR bagi pemerintah dan masyarakat untuk menata kota ini menjadi lebih baik kedepannya.

Mengutip penggalan lagu mars Bogor “Bogor kota indah, sejuk, nyaman Bagai bunga di dalam taman”, masihkah Bogor dianggap indah, sejuk dan nyaman dengan segala permasalahannya ?.

Post Author: dekikurnia

Suka menulis, main gitar dan baca buku